Digital cinema : virtual screens

Digital cinema : virtual screens

Sabtu, 27 Februari 2010

Kaitan Manusia dan Kebudayaan

Hubungan Manusia dan Kebudayaan
Manusia dalam kehidupan di dunia ini mempunyai peranan yang sangat unik sehingga dapat dipandang dari berbagai segi ilmu pengetahuan. Menurut ilmu eksakta, manusia dipandang sebagai kumpulan dari partikel-partikel atom yang membentuk suatu jaringan-jaringan sistem yang dimiliki oleh manusia ( ilmu kimia ) , dan merupakan kumpulan dari energi ( ilmu fisika ) ,manusia merupakan mahluk biologis yang tergolong dalam golongan mahluk mamalia ( biologi ). Masih banyak ilmu lain yang menerangkan bahwa manusia itu mempunyai peran unik di dalam kehidupan. Manusia di susun atas unsur-unsur di bagi 2 kelompok besar yaitu :
1. Manusia terdiri dari 4 unsur yang terkait :
1. Unsur jasad yaitu unsur yang dimana orang lain maupun diri kita sendiri dapat melihat , meraba, dan menempati ruang dan waktu dalam kata lain maksudnya tubuh kita sendiri.
2. Unsur hayat yaitu unsure yang ditandai dengan gerakan dan mengandung unsur hidup.
3. Unsur roh / ruh yaitu bimbingan dan pimpinan dari Tuhan , sehingga daya yang bekerja secara spiritual dan memahami kebenaran.
4. Unsur nafs yaitu berarti mengerti akan diri nya sendiri.
2. Sebagai satu kepribadian punya 3 unsur yaitu:
1. Id yaitu struktur kepribadian yang paling primitive dan paling tidak Nampak.
2. Ego disebut juga sebagai kepribadian “eksklusif” karena peranannya dalam menghubungkan energy Id ke dalam sosial dimengerti oleh orang lain.
3. Super ego merupakan struktur kepribadian paling akhir. Lain dari Id dan Ego yang tumbuh dalam lingkungan internal, super ego lahir dalam lingkungan eksternal .
Jadi hubungan Antara manusia dan kebudayaan sangat erat adanya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Dick Hartoko bahwa manusia menjadi manusia merupakan kebudayaan.

Hampir semua tindakan yang dilakukan manusia merupakan sebuah kebudayaan, tetapi hanya tindakan yang sifatnya naluriah saja yang bukan merupakan kebudayaan, tetapi tindakan demikian sangat kecil kemungkinan terjadinya. Tindakan yang berupa kebudayaan tersebut dibiasakan dengan cara belajar. Terdapat beberapa proses belajar kebudayaan yaitu proses internalisasi, sosialisasi dan enkulturasi. Hal yang dilakukan oleh manusia inilah kebudayaan. Kebudayaan yang digunakan manusia dalam menyelesaikan masalah-masalahnya bisa kita sebut sebagai way of life, yang digunakan individu sebagai pedoman dalam bertingkah laku.
contoh tentang hubungan antara manusia dengan kebudayaan
1) Kebudayaan-kebudayaan khusus atas dasar faktor kedaerahan
Contoh: Adat-istiadat melamar di Lampung dan Minangkabau. Di Minangkabau biasanya pihak permpuan yang melamar sedangkan di Lampung, pihak laki-laki yang melamar.
2) Cara hidup di kota dan di desa yang berbeda ( urban dan rural ways of life )
Contoh: Perbedaan anak yang dibesarkan di kota dengan seorang anak yang dibesarkan di desa. Anak kota bersikap lebih terbuka dan berani untuk menonjolkan diri di antara teman-temannya sedangkan seorang anak desa lebih mempunyai sikap percaya pada diri sendiri dan sikap menilai ( sense of value )
3) Kebudayaan-kebudayaan khusus kelas sosial
Di masyarakat dapat dijumpai lapisan sosial yang kita kenal, ada lapisan sosial tinggi, rendah dan menengah. Misalnya cara berpakaian, etiket, pergaulan, bahasa sehari-hari dan cara mengisi waktu senggang. Masing-masing kelas mempunyai kebudayaan yang tidak sama, menghasilkan kepribadian yang tersendiri pula pada setiap individu.
4) Kebudayaan khusus atas dasar agama
Adanya berbagai masalah di dalam satu agama pun melahirkan kepribadian yang berbeda-beda di kalangan umatnya.
5) Kebudayaan berdasarkan profesi
Misalnya: kepribadian seorang dokter berbeda dengan kepribadian seorang pengacara dan itu semua berpengaruh pada suasana kekeluargaan dan cara mereka bergaul. Contoh lain seorang militer mempunyai kepribadian yang sangat erat hubungan dengan tugas-tugasnya. Keluarganya juga sudah biasa berpindah tempat tinggal.
pengertian dialektis
Dialektika disini berasal dari dialog komunikasi sehari-hari. Ada pendapat dilontarkan ke hadapan publik. Kemudian muncul tentangan terhadap pendapat tersebut. Kedua posisi yang saling bertentangan ini didamaikan dengan sebuah pendapat yang lebih lengkap. Dari fenomen dialog ini dapat dilihat tiga tahap yakni tesis, antitesis dan sintesis. Tesis disini dimaksudkan sebagai pendapat awal tersebut. Antitesis yakni lawan atau oposisinya. Sedangkan Sintesis merupakan pendamaian dari keduanya baik tesis dan antitesis. Dalam sintesis ini terjadi peniadaan dan pembatalan baik itu tesis dan antitesis. Keduanya menjadi tidak berlaku lagi. Dapat dikatakan pula, kedua hal tersebut disimpan dan diangkat ke taraf yang lebih tinggi. Tentunya kebenaran baik dalam tesis dan antitesis masih dipertahankan. Dalam kacamata Hegel, proses ini disebut sebagai aufgehoben.
Bentuk triadik dari dialektika Hegel yakni tesis-antitesis-sintesis berangkat dari pemikir-pemikir sebelum Hegel. Antinomi Kantian akan numena dan fenomena menimbulkan oposisi yang tidak terselesaikan[1]. Kemudian Fichte dengan metode ”Teori Pengetahuan”-nya tetap memunculkan pertentangan walaupun sudah melampaui sedikit apa yang dijabarkan oleh Kant.
Dialektika sendiri sudah dikenal dalam pemikiran Fichte. Bagi Fichte, seluruh isi dunia adalah sama dengan isi kesadaran. Seluruh dunia itu diturunkan dari suatu asas yang tertinggi dengan cara sebagai berikut: ”Aku” meng-ia-kan dirinya (tesis), yang mengakibatkan adanya ”non-Aku” yang menghadapi ”Aku”. ”non Aku” inilah antitesis. Kemudian sintesisnya adalah keduanya tidak lagi saling mengucilkan, artinya: kebenaran keduanya itu dibatasi, atau berlakunya keduanya itu dibatasi. ”Aku” menempatkan ”non-Aku yang dapat dibagi-bagi” berhadapan dengan ”Aku yang dapat dibagi-bagi”.
Dalam sistem filsafatnya, Hegel menyempurnakan Fichte. Hegel memperdalam pengertian sintesis. Di dalam sintesis baik tesis maupun antitesis bukan dibatasi (seperti pandangan Fichte), melainkan aufgehoben. Kata Jerman ini mengandung tiga arti, yaitu: a) mengesampingkan, b) merawat, menyimpan, jadi tidak ditiadakan, melainkan dirawat dalam suatu kesatuan yang lebih tinggi dan dipelihara, c) ditempatkan pada dataran yang lebih tinggi, dimana keduanya (tesis dan antitesis) tidak lagi berfungsi sebagai lawan yang saling mengucilkan. Tesis mengandung di dalam dirinya unsur positif dan negatif. Hanya saja di dalam tesis unsur positif ini lebih besar. Sebaliknya, antitesis memiliki unsur negatif yang lebih besar. Dalam sintesislah kedua unsur yang dimiliki tesis dan antitesis disatukan menjadi sebuah kesatuan yang lebih tinggi.
Dialektika juga dimaksudkan sebagai cara berpikir untuk memperoleh penyatuan (sintesis) dari dua hal yang saling bertentangan (tesis versus antitesis). Dengan term aufgehoben, konsep ”ada” (tesis) dan konsep ”tidak ada” (antitesis) mendapatkan bentuk penyatuannya dalam konsep ”menjadi” (sintesis)[2]. Di dalam konsep ”menjadi”, terdapat konsep ”ada” dan ”tidak ada” sehingga konsep ”ada” atau ”tidak ada” dinyatakan batal atau ditiadakan.
Dialektika menjadi sebuah perkembangan Yang Absolut untuk bertemu dengan dirinya sendiri. Ide yang Absolut merupakan hasil perkembangan. Konsep-konsep dan ide-ide bukanlah bayangan yang kaku melainkan mengalir. Metode dialektika menjadi sebuah gerak untuk menciptakan kebaruan dan perlawanan. Dengan tiga tahap yakni tesis, antitesis dan sintesis setiap ide-ide, konsep-konsep (tesis) berubah menjadi lawannya (antitesis). Pertentangan ini ”diangkat” dalam satu tingkat yang lebih tinggi dan menghasilkan sintesis. Hal baru ini (sintesis) kemudian menjadi tesis yang menimbulkan antitesis lagi lalu sintesis lagi. Proses gerak yang dinamis ini sampai akhirnya melahirkan suatu universalitas dari gejala-gejala. Itulah Yang Absolut yang disebut Roh dalam filsafat Hegel.
Bagi Hegel, unsur pertentangan (antitesis) tidak muncul setelah kita merefleksikannya tetapi pertentangan tersebut sudah ada dalam perkara itu sendiri. Tiap tesis sudah memuat antitesis di dalamnya. Antitesis terdapat di dalam tesis itu sendiri karena keduanya merupakan ide yang berhubungan dengan hal yang lebih tinggi. Keduanya diangkat dan ditiadakan (aufgehoben) dalam sintesis.
Kenyataan menjadi dua unsur bertentangan namun muncul serentak. Hal ini tidak dapat diterima oleh Verstand yang bekerja berdasakan skema-skema yang ada dalam menangani hal-hal yang khusus. Vernunft-lah yang dapat memahami hal ini. Vernunft melihat realitas dalam totalitasnya dan sanggup membuat sintesis dari hal-hal yang bertentangan. Identifikasi sebagai realitas total menjadi cara kerja Vernunft yang mengikuti prinsip dialektika.
Secara umum dapat kita lihat bahwa dialektika Hegel memiliki tiga aspek yang perlu diperhatikan[3]. Pertama, sistem dialektika ini berbentuk tripleks atau triadik. Kedua, dialektika ini bersifat ontologis sebagai sebuah konsep. Aplikasinya adalah terhadap benda dan benduk dari ada dan tidak sebatas pada konsep. Ketiga, dialektika Hegel memiliki tujuan akhir (telos) di dalam konsep abstrak yang disebut Hegel sebagai Idea atau Idea Absolut dan konkretnya pada Roh Absolut atau Roh (Spirit, Geist).
Terdapat tiga elemen esensial akan dialektika Hegel[4]. Pertama, berpikir itu memikirkan dalam dirinya untuk dan oleh dirinya sendiri. Kedua, dialektika merupakan hasil berpikir terus menerus akan kontradiksi. Ketiga, kesatuan kepastian akan kontradiksi tersublimasi di dalam kesatuan. Itulah kodrat akan dirinya dialektika itu sendiri.
Metode dialektik Hegel terdiri dari tiga tahap. Yang pertama adalah tesis, yakni membangun suatu pernyataan tertentu. Yang kedua adalah antitesis, yakni suatu pernyataan argumentatif yang menolak tesis. Dan yang ketiga adalah sintesis, yakni upaya untuk mendamaikan tegangan antara tesis dan antitesis. Biasanya para ahli mengaitkan konsep dialektika ini dengan filsafat Hegel, walaupun Hegel sendiri tidak pernah secara eksplisit menyatakan argumennya melalui konsep tesis, antitesis, dan sintesis. Sebaliknya Hegel justru menyatakan, bahwa ia mendapatkan argumen itu dari filsafat Kant. Lepas dari itu metode dialektik memang nantinya menjadi sangat populer di tangan para filsuf Idealisme Jerman, terutama di dalam pemikiran Hegel.
Di dalam tulisan-tulisannya, Hegel memang tidak secara langsung menggunakan konsep tesis-antitesis-sintesis. Namun ia menggunakan logika yang kurang lebih sama di dalam tulisan-tulisannya. Ia kerap kali menggunakan konsep abstrak-negatif-konkret (abstract-negative-concrete) untuk melukiskan cara berpikir dialektisnya tentang realitas. Beberapa kali ia menggunakan kata langsung-tidak langsung-konkret (immediate-mediated-conrete). Hegel memang menggunakan kata-kata yang berbeda untuk menegaskan metode berpikir dialektis yang digunakannya di dalam seluruh sistem filsafatnya. Coba kita bedah hal ini secara lebih mendalam.
Di dalam rumusan tesis-antitesis-sintesis, kita tidak bisa mengerti secara logis mengapa tesis terkait dengan antitesis. Yang dikatakan oleh para komentator Hegel hanyalah di dalam tesis sudah langsung termuat antitesis. Namun apa sesungguhnya arti dari argumen itu? Coba kita lihat rumusan Hegel abstrak-negatif-konkret. Di dalam rumusan itu sudah diandaikan, bahwa tesis, yakni abstrak, memiliki kelemahan, yakni bahwa ia belum diuji di dalam realitas. Konsep abstrak belum memiliki aspek pengalaman, dan belum teruji di dalam kerasnya realitas. Di dalam tahap negatif, yang merupakan level antitesis, apa yang abstrak tadi diceburkan ke dalam realitas, dan berinteraksi dengan negativitas yang seringkali muncul di dalam pengalaman. Baru setelah itu abstrak dan negatif mengelami sintesis, dan menjadi konkret. Level konkret baru bisa dicapai, jika level negatif dan abstrak sudah dilampaui. Inilah esensi dari metode dialektis yang dapat ditemukan di dalam seluruh filsafat Hegel.
Untuk menggambarkan konsep pelampauan negatif dan abstrak itu, Hegel menggunakan konsep Aufhebung, yang berarti 'melampaui' (overcoming). Secara kasar konsep melampaui itu bisa dianggap sebagai suatu upaya untuk menerjang batas-batas konsep yang ada sebelumnya, sambil tetap mengambil sisi positifnya yang tertinggal. Di dalam bukunya yang berjudul Ilmu Logika (Science of Logic), Hegel mencoba melukiskan proses dialektika untuk memahami keberadaan manusia. Keberadaan manusia pada awalnya adalah Ada (Being). Namun ada-murni (pure being) ternyata tidak dapat dibedakan dengan ketiadaan (Nothing). Sesuatu yang keberadaanya bersifat murni, yakni tidak tergantung pada realitas inderawi, juga secara logis dapat disamakan dengan tidak ada. Di dalam proses ada-murni, yang juga berarti ketiadaan, akan melampaui batas-batasnya sendiri, dan kemudian bersatu di dalam 'menjadi' (becoming). Di dalam kosa kata teori dialektika Hegel, ada-murni adalah tesis. Ketiadaan adalah antitesis dari ada-murni. Dan menjadi (becoming) adalah sintesis dari ada-murni dan ketiadaan.
Metode dialektika Hegel juga memiliki unsur kontradiksi yang sangat kuat. Baginya setiap tahap perkembangan realitas, mulai dari tesis, antitesis, dan sintesis, muncul dari kontradiksi yang kuat di dalam tahap sebelumnya. Seluruh sejarah dunia adalah sejarah dialektika dan kontradiksi. Dahulu kala pemerintahan yang ideal adalah pemerintahan monarki absolut dengan menjadikan satu raja sebagai acuan utama politik. Monarki absolut tersebut didasarkan pada dua asumsi, yakni legalitas perbudakan untuk memperoleh tenaga kerja manusia murah, dan asumsi bahwa rakyat adalah orang bodoh yang tidak mampu memimpin ataupun membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Cara pandang itu mengalami kontradiksi, karena jika asumsi itu terwujud, maka negara justru tidak akan berkembang. Sekarang ini bentuk pemerintahan ideal adalah demokrasi dengan mengacu pada warga negara yang bebas dan cerdas.
Dari contoh di atas dapatlah disimpulkan, bahwa kontradiksi tidaklah muncul dari luar tesis, melainkan justru dari dalamnya. Di dalam konsep monarki absolut sebagai acuan filsafat politik, sudah ada 'anti' dari monarki absolut itu sendiri. Antitesis sudah selalu terkandung di dalam tesis. Dan sintesis sudah selalu terkandung di dalam tesis dan antitesis. Dalam bahasa Hegel di dalam Ilmu Logika, di dalam Ada dan Ketiadaan sudah selalu terkandung 'menjadi'. Lalu apa sebenarnya tujuan dari metode dialektika ini?
Tujuan dasar dari dialektika adalah untuk menganalisis realitas pada dirinya sendiri, seturut geraknya sendiri, dan untuk memahami itu semua dalam terang akal budi. Konsep inti di dalam metode dialektika Hegel adalah negasi atas negasi (negation of the negation), atau yang ia sebut juga sebagai Aufhebung. Konsep ini diawali dengan sebuah premis sederhana, bahwa segala sesuatu menjadi apa adanya, karena selalu berada di dalam relasi dengan yang lainnya, yang bukan sesuatu itu. Meja bisa ada dan diketahui oleh manusia, karena ada segala sesuatu yang bukan meja,. Meja menegasi segala sesuatu yang bukan meja, sehingga ia menjadi dirinya sendiri.
Hegel mau mengajarkan kita untuk melihat realitas sebagai suatu proses. Proses tersebut melewati tahap-tahap tertentu yang kelihatannya penuh dengan negativitas. Namun negativitas itu sebenarnya merupakan antitesis yang nantinya akan ‘melampaui’ tesis dan antitesis sebelumnya. Seluruh realitas menurut Hegel bergerak dengan pola itu. Dan pada akhir sejarah, realitas akan mengalami sintesis absolut. Itulah akhir sejarah menurut Hegel. Seluruh proses ini disebutnya sebagai dialektika, dan unsur penting dari dialektika itu adalah kontradiksi dan negasi. Kontradiksi dan negasi itu memiliki unsur negativitas yang kuat, namun diperlukan untuk perkembangan realitas menuju sintesis absolut.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar